Ragam Tata Busana Masyarakat Sambori


Salah satu peralatan dan perlengkapan hidup yang sangat diperhatikan oleh masyarakat Sambori dan sekitarnya  adalah “Kani Ro Lombo” (pakaian). Pengadaan pakaian harus berpedoman pada adat shahih (adat yang baik). Cara berpakaian, warna, bentuk serta jenisnya tidak boleh bertentangan dengan nilai dan hormat adat. Bagi Masyarakat Sambori,  pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat. Fungsi utamanya adalah untuk menutup aurat, memilihara kesehatan, sebagai symbol status sosial dan untuk menambah kewibawaan bagi si pemakai.
     Tata cara berpakaian, bentuk serta warna dan seni aksesorisnya harus sesuai dengan etika dan estetika masyarakat . Pakaian harus harus diperoleh dengan cara halal,  bukan dengan cara yang dilarang oleh agama atau yang haram. Pakaian yang memenuhi persyaratan seperrti itulah yang dinilai “kani ro lombo ma ntika raso” (pakaian yang indah dan bersih) oleh masyarakat.
     Bentuk dan warna pakaian beserta kelengkapannya mengundang nilai luhur lagi mulia, harus mampu disosialisasikan oleh si pemakaianya. Karena menurut norma adat antara pakaian dan si pemakai harus sesuai dengan bunyi ungkapan “Raso Ro Ntika Si Kani Ro Lombomu, Karaso Ro Ntikapu Ade ro Itikamu”, secara singkat makna dari ungkapan itu adalah “kalau anda memakai pakaian yang indah dan bersih, maka anda harus pula membersihkan nurani dan itikadmu”.
Pakaian adat  masyarakat Sambori agak berbeda dengan pakaian adat suku Bima- Dompu pada umumnya. Dengan kekhasanya, masyarakat Sambori ternyata mampu tampil beda. Ada perbedaan yang jelas antara pakaian sehari – hari dengan resmi, laki – laki dan wanita bahkan remaja dan orang tua.
Pakaian Sehari-Hari Kaum Lelaki         
Untuk pakaian sehari – hari laki – laki dewasa dan tua biasanya memakai Sambolo (ikat kapala) yang terbuat dari kain kapas tenunan sendiri dengan hiasan kotak – kotak berwarna hitam atau putih. Dipadu dengan baju mbolo wo’o atau baju tanpa kerah yang terbuat dari kain katun dijahit sendiri dan biasanya berwarna hitam dan putih. Sarungnya bukan nggoli melainkan tembe me’e (sarung hitam) khas Sambori yang dipintal dan ditenun sendiri dari bahan kapas dan diberi warna hitam dari ramuan nila dan taru. Cara pemakaiannya dengan cara dililitkan pada bagian perut, dalam bahasa Bima disebut Katente. Untuk aksesoris lazimnya mereka mengenakan weri atau bala (kain ikat pinggang) yang diselempangkan melingkar pada bagian perut sampai di atas paha yang berrfungsi untuk menguatkan lilitan sarung atau katente.
Pakaian Perempuan Tua Dan Dewasa           
Lagi pula untuk perempuan tua dan dewasa, mereka umumnya mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari kain katun yang dijahit sendiri dan bentuknya menyerupai baju poro pada pakaian adat masyarakat Bima umumnya. Sarungnya yakni tembe me’e, yang dipintal dan tenun sendiri, dibuat agak panjang karena cara memakainya yaitu dengan cara dimasukan secara lurus melalui kepala atau kaki. Kemudian dibiarkan dilepas kembali sampai ke betis atau diatasnya diikat satu kali pada bahu, sekedar pelengkap mereka mengenakan kababu (Sejenis Selepang),yang diselempangkan pada bahu. Rambut pun tidak serampangan, mereka sangat menyukai tata rambut dengan membuat semacam ikatan yang di bentuk meninggi di atas kepala yang disebut samu’u tu’u.
Pakaian Untuk Remaja Pria
     Untuk remaja pria, ada pakaian khasnya. Mereka biasanya mengenakan baju yang dibuat dari benang katun yang berwarna putih atau warna lainnya biasanya berupa kemeja lengan pendek. Sarungnya tembe me’e yang ditenun sendiri. Ikat pinggang atau salepe, terbut dari kain tenun sendiri. Biasanya berbentuk seperti selendang yang di buat memanjang dengan lebar kurang dari ukuran selendang. Mereka pun mengenakan cincin yang terbuat dari bahan besi putih, perak diberi batu akik.
Pakaian Untuk Remaja Puteri
     Untuk remaja putri, lazimnya mengenakan baju poro me’e yang dijahit sendiri yang terbuat dari kain katun. Sarungnya adalah tembe me’e biasanya bergaris putih yang terbuat dari benang kapas yang di pintal dan ditenun sendiri. Supaya kelihatan anggun, remaja putri seringkali mengenakan kababu yang terjuntai dari bahu ke bawah dengan cara diselempangkan. Supaya tanpak manis, rambutnya di tata dengan mengikat di bagian  belakang kepala  yang sisebut Samu’u. Adapun untuk perhiasan, para remaja putrinya mengenakan kondo (kalung) yang terbuat dari biji – bijian berwarna merah dan hitam , jima edi (gelang kaki), jima rima (gelang tangan) yang terbuat dari besi putih atau perak dan menyerupai ular.
Pakaian Untuk Berpergian         
Pakaian berpergian untuk laki-laki dewasa adalah Sambolo yang terbuat dari kapas yang dipintal dan ditenun sendiri. Warnanya hitam dan kotak-kotak putih. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup. Cara seperti ini disebut Sambolo Toho. Mereka biasanya memakai baju kemeja kerah pendek yang terbuat dari benang katun atau kain tetoron. Sarungya yaitu tembe me’e yang terbuat dari benang kapas yang ditenun sendiri. Cara memakainya dililitkan pada bagian perut atau yang dikenal dengan katente. Mereka melengkapi diri dengan senjata yang berupa parang yang ujungnya bengkok yang disebut Cila Mboko bagi laki-laki tua dan parang yang bentuknya lurus bagi laki-laki dewasa. Cara memakainya yaitu parang dan sarungnya telah disiapkan tali khusus, kemudian tali tersebut diikatkan melingkar pada pinggang dan parangnya diletakkan pada pinggang sebelah kiri.
     Untuk perempuan tua dan dewasa, umumnya mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari benang kapas hasil tenunan dan jahitan sendiri. Sarungnya yakni tembe me’e(Sarung Hitam) yang diikatkan pada bagian pinggang kemudian dibiarkan lurus sampai mata kaki. Cara memakai seperti ini disebut Sanggentu. Mereka mengenakan penutup kepala berupa todu(Kerudung) yang terbuat dari kain tipis biasanya berwarna putih dan disongket benang perak. Selalu terselip Wonca(Bakul) yang terbuat dari anyaman bambu yang dipergunakan sebagai bekal di jalan atau berisi rempah-rempah untuk diberikan pada lembaga yang berada di desa lain. Biasanya mereka tidak memakai alas kaki.
     Untuk remaja pria, mereka biasanya mengenakan baju kemeja lengan pendek yang terbuat dari benang katun atau tetoron yang berwarna putih. Mereka memakai ikat pinggang yang terbuat dari kain yang dibuat agak melebar sehingga memperkuat ikatan atau lilitan sarung. Senjatanya berupa golok yang terbuat dari besi dan sarung dari kayu yang diselipkan pada pinggang. Alas kaki  adalah Sadopa yang terbuat dari kulit binatang atau karet.
Untuk remaja putri biasanya mengenakan tata rambut yang ditata sedemikan rupa sehingga membentuk seperti undak di atas kepala yang disebut samu’u Tuta. Umunya mereka menggunakan  baju poro me’e (Baju  lengan pendek hitam) yang terbuat dari kain tenun atau dari kain blacu berwarna hitam yang diberi hiasan renda pada ujung bawah dan pada bagian kerahnya. Sarungnya terbuat dari benang kapas yang dipintal dan ditenun sendiri. Supaya tampak anggun, mereka mengenakan kababu yang diselempangkan pada bahu, yang terbuat dari benang katun yang disongket dengan benang perak. Untuk perhiasan, remaja wanita memakai karung manik-manik yang terjuntai dari leher ke dada. Mereka tidak memakai alas kaki ***

Related Post



0 komentar:

Post a Comment

 
Powered by La Ari