11. Membuka Tabir
Penganten pria bersama sara hukum didampingi ompu tua (Orang Yang Dituakan) dan ompu panati akan melaksnakan satu upacara adat yang dilaksanakan setelah upacara lafa yaitu Hengga Dindi dan Hengga Kelambu. Secara harfiah “hengga dindi” berari “buka tabir”, atau hengga kalambu berarti “buka kelambu”
Sesudah melaksanakan lafa, penganten laki – laki akan mengikuti upacara hengga dindi. Didampingi oleh ompu panati bersama lebe, galara dan keluarga menuju kamar “Bunti Siwe” (penganten putri).Sebelum masuk kekamar bunti siwe, bunti mone (penganten laki – laki) bersama pendamping berdiri di luar “dinding satampa” (tabir pemisah). Di bagian dalam dindi satampa ada Ina ruka (inang pengasuh) bersama istri lebe, istri galara dan tokoh adat perempuan.
Upacara di mulai oleh pihak bunti mone diwakili oleh ompu panati. Diawali dengan shalawat dan salam, ompu panati penyampaikan untaian kalimat sebagai barikut :
Penganten pria bersama sara hukum didampingi ompu tua (Orang Yang Dituakan) dan ompu panati akan melaksnakan satu upacara adat yang dilaksanakan setelah upacara lafa yaitu Hengga Dindi dan Hengga Kelambu. Secara harfiah “hengga dindi” berari “buka tabir”, atau hengga kalambu berarti “buka kelambu”
Sesudah melaksanakan lafa, penganten laki – laki akan mengikuti upacara hengga dindi. Didampingi oleh ompu panati bersama lebe, galara dan keluarga menuju kamar “Bunti Siwe” (penganten putri).Sebelum masuk kekamar bunti siwe, bunti mone (penganten laki – laki) bersama pendamping berdiri di luar “dinding satampa” (tabir pemisah). Di bagian dalam dindi satampa ada Ina ruka (inang pengasuh) bersama istri lebe, istri galara dan tokoh adat perempuan.
Upacara di mulai oleh pihak bunti mone diwakili oleh ompu panati. Diawali dengan shalawat dan salam, ompu panati penyampaikan untaian kalimat sebagai barikut :
“di bae kai ade ndai doho kasomu ina ruka ro wa’I galara ro wa’I lebe ma dese ro ntasae. Mai ndiha ro nggari kai ndai doho kaso, labo sara ro huku, labo samena cina ro angi ake, ede ru mamai dende ro wa’a ku ana mone ndai ta bunti mone, di ma ngge’e sama ade sabua uma ro salaja labo ana ndaita bunti siwe”(untuk diketahui oleh Inang Pengasuh dan ibu-ibu. Kami datang bersama Gelarang, Lebai dan tokoh masyarakat ini untuk mengantarkan Pengantin Pria ini untuk hidup bersama dengan pengantin wanita.)
“Bunesi ntika samena na eli ede ndai doho kasomu de ompu panati, wa’uja ra ringa mena ba ndai mantau ana bunti siwe. Samena ra dodo ro raho ba ndai doho ma tarima na kai ade ma raso lanta bune wolo ma bou ra mbenti. Pala adendede kainade ndai doho kaso ma ne’e ja ku bae kai ade, tenggo ro wale ra tiwi ro wa’a ba anaku bunti mone. Di kabua kaina uma ro salaja ade mori ro woko kaina labo weira anana pede”.(Apa yang disampaikan oleh Ompu Panati sebenarnya sudah kami ketahui bersama. Semuanya kami terima dengan hati yang ikhlas seputih kapas. Tapi kami juga perlu menanyakan kesanggupan penganten pria untuk mengurus rumah tangga dan anak keturunannya kelak.)
Setelah dialog berlangsung dalam suasana kekeluargaan, akhirnya apa yang diminta oleh Ina Ruka dikabulkan oleh ompu panati. Dengan sikap sopan ompu panati bertutur “sujud syukurku di ndai ruma ra hartala, mencewi kasi ade di samenana adana, samenana ra mawa ro kanteaba ndai doho kasomu, sapoda kaina wa’ura wara tiwi ro wa’a ba ndai doho kaso”. (Puji syukur kehadirat Allah SWT, semua yang minta oleh ibu-ibu sesungguhnya sudah kami penuhi dan kami bawa saat ini)
Kemudian dijawab oleh Ina Ruka:
“Roi ro wadi ku ruma ra hartala mancewi taho parange, wa’u ra ringa ba ndai doho kaso eli ndai doho kasomu, ba one ndedena dodoku pahuna.”(Sukur Alhamdulillah, karena apa yang kami minta sudah dikabulkan, untuk itu kami mohon wujudnya.)
Ompu panati :
“Syukur ra di Ruma ra harttala mancewi kasi ade di samenana adana. Tarima kai ade ma raso, samenana tenggo ro wale ra tiwi ra wa’a ba ndai doho kaso” (Syukur Alhamdulillah, inilah wujud dari apa yang diminta ibu-ibu)
Sambil melemparkan beberapa keping uang perak kedalam tabir. Setelah lemparan ketiga, akhirnya ina ruka membuka dindi satampa (Tabir pembatas). Dengan mempersembahkan puji syukur kepada Allah SWT, disusul dengan bacaan basmallah, akhirnya bunti mone bersama gelara dan lebe didampingi ompu panati dan keluarga memasuki kamar bunti siwe.
Sesudah berada di dalam kamar, bunti mone melaksanakan shalat sunat dua rakaat untuk memohon kehadapan Allah AWT, agar mahligai rumah tangga selalu mendapat rahmat dan hidayah-Nya.
12. Persembahan Kesetiaan
Shalat sunat dua rakaat sudah selesai diakhiri dengan do’a kepada Allah SWT semoga kedua penganten mendapatkan rahmat dan dijauhkan dari bala bencana.
Kini tiba saatnya bunti mone untuk melangkah mendekati bunti siwe guna melaksanakan upacara nenggu, yaitu mempersembahkan jungge ke sanggul sang bunti siwe tercinta. Upacara ini kadang – kadang disebut upacara cepe jenggu.
Bunti mone mengawali upacara dengan mempersembahkan sekuntum jungge kala( Sanggul Merah) sebagai isyarat bahwa bunti mone seorang gagah berani, namun jungge kala lambang keberanian dibantik oleh bunti siwe.
Kini bunti mone mempersembahkan jungge monca (Sanggul Kuning) kepada sang istri tercinta bunti siwe. Namun apa hendak dikata, jungge monca lambang kejayaan juga ditolak oleh bunti siwe. Bunti mone tidak putus asa, ditangan masih ada sekuntum jungge bura (Sanggul Putih) sebagai lambang keikhlasan hati dalam membina mahligai rumah tangga. Penyerahan jungge bura (Sanggul Putih) disambut gembira oleh bunti siwe. Jungge bura sebagai simbul keikhlasan lebih utama dari sekuntum bunga merah dan kuning.
Karena keberanian tanpa keikhlasan akan menimbulkan petaka bagi keluarga. Kejayaan diraih dengan hasat dengki tidak akan berguna. Semua perjuangan tanpa kesucian akan sia – sia.
Upacara hengga dindi diikuti upacara nenggu, sudah selesai. Rangkaian upacara adat yang penuh makna,bahwa untuk mewujudkan kehidupan bahagia sejahtera tidaklah mudah. Banyak tantangan yang malang melintang. Semuanya dapat diatasi bila kesucian hati menjadi landasan perjuangan.
13. Cita-Cita Dalam Boho Oi Ndeu
Acara Boho Oi Ndeu (Siraman) disebut juga Elo Rawi. Elo Rawi terdiri dari kata “elo” dan “rawi”. Elo berarti ekor atau akhir, sedangkan “rawi” berarti pekerjaan, dalam hal ini berarti “upacara”. Pengertian Elo Rawi dalam upacara adat Bima-Dompu adalah upacara adat yang mengakhiri seluruh rangkain upacara adat tersebut.
Boho oi ndeu adalah upacara memandikan penganten, dilakukan oleh ina ruka dan disaksikan oleh kaum ibu. Berlangsung pagi hari jam 09.00. karena itu upacara ini di namakan “boho oi ndeu” atau menyiram air mandi.Pada upacara boho oi ndeu, kedua penganten berdiri di atas “tampe dan lihu” (dua jenis alat tenun tradisional), kedauanya berdiri menghadap kiblat. Badan mereka disatukan dengan ikatan “ero lanta” (benang putih).Kemudian disekitar penganten dinyalakan lampu lilin.
Sebelum memulai boho oi ndeu, ina ruka membaca syalawat Nabi sebanyak tiga kali, diikuti oleh para undangan. Air yang dipergunakan untuk boho oi ndeu sebelumnya disimpan dalam “roa bou” (periuk gerabah baru) agar terasa segar dan dingin. Dicampur dengan potongan dan irisan daun pandan wangi dan bunga mundu (kembang melati), Jampaka (cempaka) dan kananga(kenanga) sehingga terasa wangi.
Tujuan dari upacara boho oi ndeu adalah sebagai peringatan bagi penganten karena kebersihan lahir bhatin merupakan modal utama dalam membina rumah tangga agar mampu mewujudkan kehidupan bahagia sejahtera bagi keluarga juga bagi sanak saudara dan tetangga.
Semua barang atau alat yang dipergunakan dalam upacara boho oi ndeu mengandung makna untuk dipetik hikmahnya bagi kedua penganten dalam membina mahligai rumah tangga.
Roa bou berisi air dingin dan irisan daun pandan wangi serta bunga melati, cempaka dan kenanga semuanya penuh makna. Roa bou simbol dari kedua penganten yang berjiwa damai berhati bersih yang mampu mewujudkan kedamaian dan keharuman rumah tangga dan keluarga. Ero lanta (benang putih) yang menyatukan badan mereka, merupakan sumber persatuan berlandasan keihklasan dalam membina rumah tangga.
Seperangkat alat tenun “tampe dan lihu” tempat kedua penganten berdiri mengandung makna bagi penganten putri, sebagai seorang ibu rumah tangga harus terampil menenun agar dapat membantu suami dalam membina ekonomi rumah tangga.Ilo lili (lampu lilin) yang menyala dikiri kanan merupakan simbol pengorbanan kedua penganten dalam mengasuh dan mendidik putra – putrinya agar menjadi anak yang beriman, berilmu dan beramal shaleh. Dalam bahasa Mbojo dikenal dengan ungkapan “ana macia ima ro maloa ro sale”.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa penganten menghadap kiblat ketika boho oi ndeu ?.Jelas ada maksud dibalik itu. Harus diketahui bahwa kiblat adalah tempat menghadap ketika hamba Allah yang beriman melaksanakan sholatwajib dan sholat sunat. Kenapa penganten harus menghadap kiblat ? agar mereka jangan lupa dan lengah untuk melaksakan sholat sebagai tiang agama, baik sholat wajib maupun sholat sunat.
Sebenarnya upacara boho oi ndeu, sudah dilaksanakan pada tahap tampu’u rawi, yaitu menjelang kapanca dinamakan “boho oi ndeu”. Dalam pengertian upacara mandi untuk mengakhiri masa bujang calon penganten. Proses serta alat – alat kelengkapan yang dipergunakan hampir sama dengan upacara boho oi ndeu.
14. Untaian Doa Lewat Ngaha Nggula
Sesudah upacara boho oi ndeu, maka dilanjutkan dengan upacara adat yang di kenal dengan “Ngaha Nggula”. Sebenarnya upacara ini merupakan upacara do’a yang dihadiri oleh gelara, lebe dan para tokoh agama dan adat beserta sanak saudara.
Dalam upacara ini para undangan akan menikmati makanan khas Mbojo yaitu “Mangge Mada”. Mangge mada sejenis lauk pauk yang dibuat dari isi perut kambing atau kerbau, yang di cincang halus. Kemudian dicampur dengan santan kelapa, diberi bumbu “ringa” (wijen) dan bumbu khas Mbojo yang lain.
Sebelum upacara do’a, maka orang tua penganten pria, secara resmi akan menyerahkan harta pusaka kepada penganten. Acara serah terima harta pusaka ini harus disaksikan oleh gelara, lebe serta oleh saudara ayah (paman dan bibi). Selain itu harus pula diketahui oleh tokoh agama dan adat.
Menurut adat Mbojo, semua harta benda warisan dari ayah dan ibu tidah boleh dijual kecuali benar – benar terpaksa. Seseorang harus bisa menjual harta pusaka warisan apabila :
1. Untuk biaya pelaksanaan ibadah haji dan biaya pendidikan putra – putrinya.
2. Biaya pengobatan ayah ibu dan putra – purtinya.
3. Karena dalam keadaan paceklik atau kelaparan.
Bagi masyarakat Mbojo, harta pusaka warisan dari orang tua wajib dilestrikan oleh anak cucunya. Ketentuan adat ini sangat dipatuhi oleh orang –orang tua masa lalu. Namun pada masa sekarang, sudah banyak yang melanggarnya. Banyak diantara masyarakat yang menjual harta pusaka warisan leluhur hanya untuk berfoya – foya.
15. Nuansa Kebersamaan Dalam Pamaco
Pada sore hari sesudah sholat ashar, dilanjutkan dengan upacara adat “tawori” atau “pamaco”. Upacara ini berlangsung di uma ruka dihadiri oleh para sanak keluarga atau anggota keluarga saja.Dalam upacara tawori atau pamaco, seluruh keluarga akan datang memberikan sumbangan kepada penaganten baru untuk dijadikan modal dalam mebina rumah tangganya. Jenis barang yang disumbangkan cukup beragam, seperti:
- Hewan ternak seperti kerbau, kuda dan kambing. Dalam upacara ini si penyumbang akan menyerahkan secara simbolis dalam bentuk “ai pote”. Yaitu seutas tali tradisional Mbojo yang dibuat dari serat waru yang dililit rapi dengan menggunakan alat khas.
- Bahan makanan terutama padi, diberikan secara simbolis dengan menyerahkan sejumlah helai bulir padi yang sudah kosong (bagian dari sungga). Dari jumlah helai bulir padi (sungga) dapat diketahui jumlah sumbangan yang diberikan. Ada yang sakelo, dua kelo bahkan ada yang sawu’u. Sakelo sama dengan sampuru kapi (sepuluh ikat). Sawuwu sama dengan sariwu kapi (seribu ikat) atau sampuru kelo (sepuluh kelo). Sajala sama dengan seratus kelo atau sampuru wuwu.
- Bagi keluarga yang tidak mampu, akan memberikan sumbangan yang sesuai dengan kaadaan ekonomi mereka.
Pada perkembangan selanjutnya, upacara tawori atau pamaco dikenal dengan istilah rama tamah atau resepsi pernikahan. Pada masa sekarang sumbanngan yang diberikan oleh undangan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga penganten, sehingga tujuan dari upacara sudah tidak sama dengan tujuan tawori atau pamaco masa lalu.
Pada masa lalu tawori atau pamaco hanya upacara untuk keluarga dalam rangka mengumpulkan sumbangan untuk kedua penganten. Para handai taulan serta kerabat diluar lingkungan keluarga sudah hadir pada mada rawi yaitu upacara lafa, sesuai dengan sunah Nabi yang menganjurkan kita menghadiri upacara lafa (akad nikah).
Para kerabat dan seluruh masyarakat disekitar sudah memberikan sumbanngan pada awal pelaksanaan nika ro neku. Mereka datang bermai – ramai untuk melaksanakan “teka ro ne’e” (memberikan sumbangan). (Habis)
Pada masa lalu tawori atau pamaco hanya upacara untuk keluarga dalam rangka mengumpulkan sumbangan untuk kedua penganten. Para handai taulan serta kerabat diluar lingkungan keluarga sudah hadir pada mada rawi yaitu upacara lafa, sesuai dengan sunah Nabi yang menganjurkan kita menghadiri upacara lafa (akad nikah).
Para kerabat dan seluruh masyarakat disekitar sudah memberikan sumbanngan pada awal pelaksanaan nika ro neku. Mereka datang bermai – ramai untuk melaksanakan “teka ro ne’e” (memberikan sumbangan). (Habis)
==========================================================
==========================================================
0 komentar:
Post a Comment