Bagi masyarakat Sambori, Rumah atau Uma Ngge’e
Kai merupakan kebutuhan paling pokok dalam kehidupan keluarga. Dalam
falsafah masyarakat Bima lama (Sambori
dan Donggo) bahwa orang yang baik itu yang berasal dari keturunan yang
baik, mempunyai istri yang berbudi
mulia, rumah yang kuat dan indah, senjata pusaka yang sakti dan kuda tunggang
yang lincah. Dari ungkapan di atas, jelaslah bahwa rumah merupakan kebutuhan
pokok yang tidak boleh diabaikan. Karena itu dalam membangun rumah harus
memilih PANGGITA atau arsitek yang memiliki Loa Ra Tingi (Kemampuan dan
keahlian) yang
tinggi dan berakhlak mulia. Panggita juga harus memahami SASATO (Sifat atau pribadi)
pemilik rumah. Baku Ro Uku atau bentuk dan ukuran dalam arti tata ruang
harus disesuaikan dengan sifat dan kepribadian pemilik rumah.
Uma Lengge merupakan salah satu rumah
adat tradisional yang dibuat oleh nenek moyang suku Bima (Mbojo) sejak zaman purba.
Sejak dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo. Khusus
di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat Uma
Lengge yang disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah
tersebut sangat runcing dan lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga
ke dinding rumah. Di kecamatan Lambitu, Uma Lengge dapat ditemukan di desa
Sambori dan desa-desa lain di sekitarnya seperti di Kuta, Teta, dan Kaboro.
Secara umum, struktur Uma Lengge
berbentuk kerucut setinggi 5- 7 m, bertiang empat dari bahan kayu-kayu pilihan,
beratap alang-alang yang sekaligus menutupi tiga perempat bagian rumah sebagai
dinding dan memiliki pintu masuk dibawah.Uma Lengge terdiri dari 4 lantai,
yaitu lantai dasar (kolong) atau Ground Floor yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
ternak. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat.
Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai
ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan
umbi-umbian.
Uma lengge memiliki bagian bagian yang
terdiri atap uma (butu uma) yang
terbuat dari daun alang-alang,
langit-langit
atau taja uma terbuat dari kayu lontar serta lantai tempat tinggal terbuat dari
kayu pohon pinang atau kelapa. Pada bagian tiang Uma Lengge juga digunakan kayu yang dijadikan
sebagai penyangga, yang fungsinya sebagai penguat setiap tiang tiang uma
lengge. Pintu
masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi
dan sandi untuk para tetangga dan tamu.
Sudah menjadi konvensi turun temurun
di kalangan masyarakat Sombori, jika daun pintu lantai pertama dan kedua
ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak
jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian
jauh dalam tempo yang relatif lama. Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan yang
ditunjukkan oleh leluhur orang-orang Sambori, bahwa meninggalkan rumah meski
meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat
tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga tidak perlu
menunggu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.
Pintu rumah berada di bagian yang
tersembunyi yaitu di pojok atau di sudut ruang atas. Tangga rumah tidak selalu
dalam keadaan terpasang. Dari posisi tangganya juga ada sandi atau tanda yang
diketahui oleh kerabatnya dari cara mereka menyimpan tangga. Apabila tangganya
dibiarkan terpasang, berarti penghuninya telah pergi ke ladang dan akan kembali
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Apabila tangga disimpan agak jauh
dari rumah, hal itu berarti penghuninya telah pergi jauh dan akan kembali dalam
waktu yang lama. Pada masa pra Islam, apabila ada anggota keluarga yang
meninggal, jenazahnya tidak boleh diturunkan melalui pintu dan tangga. Tetapi
diturunkan melalui atap rumah. Di halaman rumah harus ada beberapa buah batu
sebagai tempat tinggal roh leluhur yang sudah meninggal. Dan pada waktu
tertentu diadakan upacara pemujaan roh yang disebut Toho Dore. Tapi seiring masuknya Islam,
ritual ini telah ditinggalkan.
Antropolog Albert dalam kunjungannya
di Bima pada tahun 1909 menamakan Uma Lengge dengan A Frame (Kerangka Huruf A). Rumah seperti ini
berfungsi sebagai penyimpan panas yang baik, mengingat daerah Sambori adalah
daerah pegunungan yang berhawa dingin. Prototipe A Frame juga sangat tahan
terhadap terjangan angin dan badai.
Disamping itu, tinggi Lengge yang mencapai 7 meter dengan tempat tidur
dan penyimpanan bahan makanan di lantai dua dan tinggi dimaksudkan juga agar
aman dari bahaya banjir dan binatang buas.
Proses pembangunan Uma Lengge
dilakukan dalam kurun waktu sekitar 1 sampai 3 tahun dengan menggunakan
kayu-kayu alam pilihan. Ada sekitar 14 jenis kayu yang dibutuhkan untuk
pembangunan sebuah Uma Lengge dan 3 jenis tali temali yang berasal dari serat
pohon yang ada di sekitar Sambori. Kayu-kayu tersebut adalah Kayu Gaharu, Wako,
Cuma, Rondu, Papare, Sarise, Kandaru, Nangka, Mpipi, Isu, Lobo, Sangari, Supa
dan Pinang. Sedangkan Tali yang digunakan adalah dari rotan, serat pohon
kalimone dan Bulunao (Ijuk). Proses pembangunan Lengge dilakukan
secara gotong royong yang dikenal dengan “Karawi Kaboju”. Agar Lengge bisa
bertahan lama dan demi keselamatan para peghuninya dilakukan semacam ritual
Doa.
0 komentar:
Post a Comment